Langkah Yang Salah

Hujan turun dengan derasnya, menciptakan simfoni pilu di sepanjang jalanan yang basah dan lengang. Langkahnya gontai, namun hatinya melaju k...

Hujan turun dengan derasnya, menciptakan simfoni pilu di sepanjang jalanan yang basah dan lengang. Langkahnya gontai, namun hatinya melaju kencang—terus mencari, terus berharap, terus menyalakan nyala kecil yang tak pernah benar-benar padam di dadanya. Ia berjalan melewati trotoar yang dingin, membayangkan tiap langkah membawanya lebih dekat kepadamu, seseorang yang namanya selalu ia bisikkan dalam doa-doa sunyi. Tapi kenyataan menamparnya tanpa belas kasih—di kejauhan, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, ia melihatmu berdiri di sana, tapi bukan sendiri. Ada tangan lain yang kau genggam erat, ada mata lain yang kau tatap dengan kelembutan yang selalu ia dambakan. Seketika, seluruh dunia terasa runtuh di pundaknya. Hujan yang jatuh di pipinya entah air langit atau air mata, sebab keduanya terasa sama dingin dan perih. Langkahnya terhenti di tengah jalan yang seharusnya membawanya ke arahmu, kini berubah menjadi labirin tanpa ujung yang dipenuhi bayangan penyesalan. Ia ingin berlari, memanggil namamu, bertanya mengapa cinta yang ia rawat dengan segenap jiwanya tak pernah cukup. Namun bibirnya kelu, dan hatinya tahu, ia hanyalah seseorang yang mencintai dalam diam, seseorang yang tak pernah kau lihat, tak pernah kau harapkan. Dan di sanalah ia berdiri, membeku di bawah rintik hujan, menyadari bahwa perjalanan cintanya telah berakhir bahkan sebelum sempat dimulai.

Namun di tengah rinai hujan yang tak jua reda, ia tetap berdiri di sana, membiarkan tubuhnya luruh dalam keputusasaan. Matanya masih terpaku padamu, pada bayanganmu yang perlahan menjauh, menghilang di tikungan jalan yang remang. Sejenak ia berharap semua ini hanyalah ilusi, bahwa mungkin kau akan menoleh ke belakang, menyadari keberadaannya, lalu berlari ke arahnya dengan senyum yang selalu ia impikan. Tapi kenyataan tak pernah seindah harapan. Kau tetap melangkah pergi, tanganmu masih erat menggenggam jemari yang bukan miliknya, dan ia tahu—tak ada lagi ruang untuknya di hatimu, atau mungkin memang tak pernah ada sejak awal.

Ia mengangkat wajahnya ke langit kelabu, mencari matahari yang seharusnya menyinari, tapi yang ia temukan hanyalah awan pekat yang menggantung berat, sama seperti hatinya. Entah hujan yang terlalu deras atau matanya yang terlalu basah, dunia di hadapannya terlihat buram, tak lagi memiliki warna. Matahari yang dulu menjadi simbol harapannya kini terasa seperti kesia-siaan, karena apalah arti cahaya jika sinarnya tak pernah mampu menembus hatimu? Ia tersenyum pahit, menyadari betapa bodohnya berharap pada cinta yang tak pernah berbalas. Dan akhirnya, dengan langkah tertatih, ia berbalik arah, berjalan menjauhi tempat di mana hatinya telah remuk. Tak ada lagi yang bisa ia kejar, tak ada lagi jalan untuk kembali. Mataharinya telah padam di dalam dirinya, dan ia pun menghilang dalam derasnya hujan, tenggelam dalam luka yang tak akan pernah benar-benar sembuh.

Setiap langkah yang ia ambil terasa begitu berat, seakan ada ribuan belenggu yang mengikat pergelangan kakinya. Dingin semakin menusuk, bukan hanya dari hujan yang mengguyur tubuhnya tanpa ampun, tetapi juga dari kehampaan yang kini bersemayam di dadanya. Jalan yang ia tempuh kini hanyalah lorong sunyi tanpa arah, seperti seorang pengembara yang kehilangan peta, tersesat dalam labirin perasaan yang tak berujung. Namun, meskipun tubuhnya terus melangkah menjauh, hatinya masih tertinggal di tempat ia melihatmu terakhir kali—bersama seseorang yang bukan dirinya.

Ia berhenti sejenak, menghela napas panjang, lalu menatap ke depan. Dalam kepalanya, cinta selalu digambarkan sebagai anak panah yang melesat lurus menuju tujuan. Ia pikir selama ini ia adalah pemanah yang terampil, yang tahu dengan pasti ke mana perasaannya harus bermuara. Ia telah membidikmu sejak lama, menjadikanmu pusat dari segala harapannya. Tapi nyatanya, anak panah itu meleset, atau mungkin memang sejak awal ia telah menarik busurnya ke arah yang salah—menuju hati yang tak pernah terbuka untuknya.

Ia tersenyum pahit. Betapa ironisnya, langkah-langkahnya kini justru terasa lebih nyata dibandingkan semua impian yang pernah ia rangkai tentangmu. Ia menyadari, tak peduli seberapa jauh ia menempuh perjalanan, tak peduli seberapa dalam ia mencintai, ada hal-hal yang memang tak pernah ditakdirkan untuk dimiliki. Dengan hati yang koyak dan perasaan yang tak lagi mampu didefinisikan, ia kembali melangkah, bukan lagi untuk mengejarmu, tetapi untuk mencari jalannya sendiri—meskipun ia tahu, selama matahari masih bersinar, bayangan cinta yang tak terbalas ini akan terus menghantuinya.