Di Matanya, Aku Pernah Pulang

Hujan sore ini tidak deras, tapi cukup untuk membuatku berhenti sejenak di depan kafe kecil itu. Kaki ini sempat ragu melangkah, tapi sesuat...

Hujan sore ini tidak deras, tapi cukup untuk membuatku berhenti sejenak di depan kafe kecil itu. Kaki ini sempat ragu melangkah, tapi sesuatu di dalam dada berkata, masuklah.

Dan di sanalah dia.

Duduk di dekat jendela, memandangi jalanan dengan tatapan yang dulu pernah kutahu begitu baik.

Saat matanya bertemu dengan mataku, ada sesuatu yang bergeser di dalam diriku. Bukan hanya rindu—ini lebih dalam, seperti rasa bersalah yang akhirnya menemukan wajahnya.

Aku tersenyum. “Lama sekali.”

Dia hanya mengangguk, bibirnya membentuk senyum tipis yang tak bisa kusebut sebagai bahagia. Kami duduk. Aku memesan cappuccino, dia teh melati. Entah bagaimana, aku masih ingat. Ingatan itu seperti potongan lagu lama yang tiba-tiba terputar lagi.

Kami berbicara, tapi tak seperti dulu. Dulu kami seperti dua sungai yang mengalir bebas, sekarang seperti dua anak sungai yang bertemu di muara tapi terhalang pasir dan batu. Ada kata-kata yang ingin sekali kukatakan—tentang malam-malam yang terasa sepi tanpanya, tentang keputusan-keputusan bodoh yang membuatku kehilangan dirinya. Tapi aku tahu, beberapa hal akan lebih indah jika tetap disimpan.

Dia tertawa pelan di sela cerita, dan tawa itu… Tuhan, tawa itu memukul hatiku. Bukan karena aku ingin memilikinya kembali, tapi karena aku tahu tawa itu bukan lagi untukku.

Hujan di luar mulai berhenti, meninggalkan bau tanah basah. Waktu seperti tergelincir tanpa terasa. Saat menyadari cangkir kami sudah kosong, aku mengerti: pertemuan ini bukan undangan untuk kembali, tapi izin untuk melepaskan.

Aku berdiri, merapikan jaketku. “Jaga dirimu,” kataku singkat. Itu saja yang mampu keluar dari bibirku, meski ada ribuan kata yang berdesakan di dalam kepala. Dia tersenyum. Senyum itu—sekali lagi—terasa seperti rumah yang pernah kutinggali tapi tak lagi kumiliki.

Melangkah keluar, aku tidak menoleh.

Bukan karena tidak ingin, tapi karena aku tahu jika melakukannya, aku akan kembali jatuh. Dan kali ini, tidak ada yang akan menangkapku.

Di matanya, aku pernah pulang. Tapi sore ini, aku belajar bahwa bahkan rumah pun bisa berubah menjadi tempat yang hanya bisa kau kunjungi di kenangan.

Epilog – "Sore yang Masih Menetap"

Bertahun-tahun sudah berlalu sejak hujan sore itu.

Musim berganti, jalanan kota berubah, bahkan kafe kecil itu kini berganti nama. Tapi di kepalaku, sore itu tetap hidup—utuh, dengan segala bau hujan, aroma kopi, dan tatapan matamu yang bertahan sedikit lebih lama dari seharusnya.

Aku sudah menjalani banyak hari tanpa menyebut namamu, tapi ada saat-saat tertentu—ketika hujan turun pelan di jendela, atau aroma teh melati tercium samar—aku kembali ke sana. Ke meja sudut itu, ke percakapan yang hati-hati, ke jeda-jeda yang terasa seperti ruang di antara dua jantung yang pernah berirama sama.

Kadang aku bertanya-tanya… jika saat itu aku berani berkata, aku masih mencintaimu, apakah segalanya akan berbeda?

Tapi aku tahu, hidup bukan tentang menahan hujan agar tak jatuh, melainkan tentang belajar berjalan di bawahnya tanpa berharap langit kembali cerah seperti dulu.

Aku tidak lagi menunggu pertemuan itu terulang.

Karena kini aku mengerti, sore hujan itu bukan kesempatan yang hilang—melainkan kenangan yang diberikan utuh agar aku punya sesuatu untuk kusebut rumah, meski hanya di dalam ingatan.

Dan sampai hari ini, setiap kali hujan turun pelan… aku masih mendengar suaramu berkata,

“Jaga dirimu.”