“Tik… Tik… Tik…” Suara tetesan air kran yang berada tak jauh dari tempat tidurku terdengar begitu jelas. Bergantian dengan detak jarum jam y...
“Tik… Tik… Tik…”
Suara tetesan air kran yang berada tak jauh dari tempat tidurku terdengar begitu jelas. Bergantian dengan detak jarum jam yang terus berputar. Menciptakan irama yang semakin membuat fikiranku kalut. Sekejap, rasa pedih memenuhi relung hati. Mataku tak jua mau terpejam. Ketakutan itu sepertinya tengah menjalar disekujur tubuh.
Siapkah aku menerima semua ini ?
Haruskah aku kembali?
Atau tetap berada di sini?
***
Sudah seminggu ini, kran di dapur bocor. Tetesan airnya sering kali membuat darah Bobo1 naik. Seringkali pula, wanita itu mengumpat dalam bahasa ibunya. Tentu saja, aku sendiri tak begitu paham maksudnya. Bahasa hokien itu terlalu sulit kupahami. Maklum, aku adalah penghuni baru di rumah ini dan bahasa baru itu sangat asing di telingaku. Meski bukan kali pertama jiwa ini menjejakan kaki di bumi Tuhan yang lain, tapi rasanya tetap saja. Ada yang beda.
Hampir satu bulan di rumah ini, namun bagiku sangatlah lama. Menjalani masa karantina di tengah kondisi negeri yang terdampak virus korona. Aku tak boleh libur. Bahkan, sekedar keluar rumah untuk membuang sampah pun tak diijinkan. Virus mematikan ini, seperti tak mau enyah. Setiap detik, menit bahkan setiap hembusan nafas terlepas, virusnya semakin dengan bebas menyebar.
Aku beruntung bisa menjejakan kaki di sini sebelum masa lockdown2 terjadi. Puluhan temanku terpaksa gagal terbang dan sebagian lagi memilih untuk bertahan.
Hidup di masa corona, rasanya waktu ini menjadi sangatlah lama, apalagi jika Bobo berada di rumah. Sehari, bagaikan seabad. Ingin rasanya kuputar matahari, biar cepat hari ini berganti. Tapi sepertinya aku hanya bisa menghayal saja.
“Huff…”
Sepagi tadi, Bobo yang masih sehat itu sudah pergi entah kemana. Tubuhnya masih terlihat energik. Walaupun usianya tak lagi muda. Hanya saja, mulutnya sedikit eror. Kau tau bagaimana rasanya dimarahi dalam bahasa yang kau sendiri tak paham artinya?
Coba kau banyangkan. Aku sendiri sering tertawa saat dia marah. Tapi jelas, tertawaku hanya dalam hati. Bibir ini tak mampu berucap saat setan itu merasuki jiwanya. Dan entah kenapa, hal itu berlaku setiap kali Bobo bertemu denganku. Hawa panas itu seketika datang. Semua yang kukerjakan, selalu salah di matanya. Seperti tak ada kata ‘benar.’
‘Entah apa yang merasukinya?’
Aku tersentak saat nada dering yang kugunakan sebagai nada panggil gawaiku berbunyi. Nada itu begitu nyaring terdengar. Sepertinya aku lupa menonaktifkan mode deringnya. Dan secepat kilat, aku menuju sumber suara. Layar itu menunjukan nomor yang tak ku kenal.
“Ah, pasti nomor penipu yang mau ceramah lagi,” gumamku.
Ya, akhir-akhir ini memang banyak sekali kasus penipuan mengatasnamakan undian. Kuletakan gawai di bawah bantal. Wanita tua itu akan mengoceh sepanjang malam jika aku ketahuan memegangnya. Akhir-akhir ini banyak sekali telpon iseng. Mengabarkan menang undian. Dapat hibah dari pemerintah. Ah, nomor sialan ini juga entah kenapa cepat sekali terendus kehidupannya oleh warga plus enam dua.
“Mey-Mey, lei hai pin a!” Mey-Mey kamu di mana! seru Bobo yang datang dengan membawa sekeranjang buah-buahan. Tanpa banyak bicara, Aku mengambil alih bawaannya sebelum kalimat maha panjang itu terlontar dari mulutnya.
Tak ada istirahat saat wanita itu berada di rumah. Tubuh ini seperti robot yang harus tetap bekerja. Siang, malam tanpa istirahat yang cukup. Aku bersumpah untuk keluar dari sini dalam waktu dekat. Tapi, itu hanya sumpah palsu saat hatiku sedang tak menentu. Terkadang, setiap kali melihat langit - dari lantai 40 – hatiku selalu bergemuruh. Ingin rasanya cepat pulang. Tapi apalah daya.
“Aku pasti bisa melalui semua ini.”
***
Matahari beranjak tumbang di kaki langit. Rona jingga yang tadi tergores ‘apik’ di sana, perlahan menggulita. Bobo masih asik dengan serial drama yang disuguhkan oleh salah satu stasiun televisi di Hongkong.
“Kau lihat, banyak pertokoan sekarang tutup karena corona,” kata Bobo sambil mengupas jeruk yang dibelinya saat pulang tadi.
Aku mengangguk, menyetujui.
“Tak ada yang seberuntung kau di sini. Kerjaanmu tak banyak tapi dapat gaji besar,” lanjutnya lagi.
“Iya, tapi makan hati tiap hari,” batinku.
Aku tak cukup berani jika harus membantahnya. Takut kualat dan dikutuk menjadi batu. Sesekali, dia memutar chanel lain, namun kebiasaan itu susah sekali hilang. Wanita tua ini terus saja mengomentari setiap tayangan yang disuguhkan di televisi. Aku hanya diam sembari mendengarkan dongeng malam menjelang tidur panjang yang sama sekali, tak kupahami artinya.
Raga hanya bisa diam, sembari sesekali melirik gawaiku. Ya, hanya itu rasanya yang bisa kulakukan saat ini. Mau mengeluh, tapi tak tau pada siapa. Ingin curhat ke Facebook, tapi rasanya tak etis. Ujung-ujungnya, hanya akan menguras energiku saja.
Kau tau seberapa banyak orang yang tertawa dan memaki, dibandingkan dengan mereka yang member solusi?
Tak banyak, dan kau tau itu.
Kutatap langit-langit, menyembunyikan rasa kesal yang membuncah hari ini. Rasa yang entah.
Derzzz… Derzzz… Derzzz…
Sebuah pesan masuk ke gawaiku. Aku terhenyak dari lamunanku. Sejenak aku melirik Bobo, memastikan dirinya tak melihat gawaiku. Kau pahamkan, maling akan selalu lebih pintar dari polisi untuk hal seperti ini.
Deg…
Aku tertegun memandangi setiap kalimat dalam pesan itu. Sebuah kalimat singkat yang mampu membuat aliran darah dan jantungku berhenti.
“Nduk, bapak tindhak,” Nak, bapak pulang. Begitu isi pesannya.
Aku terdiam cukup lama. Bibirku kelu. Apa yang kutakutkan sejak kemarin, akhirnya terjadi. Bapak pulang. Kenapa harus sekarang? Saat aku tak sedang ada di sana. Bulir airmataku menetes perlahan. Satu-satunya lelaki yang kumiliki, pergi tanpa pesan yang berarti.
Aku mulai menangis. Seketika Bobo menoleh ke arahku dan memandangiku tanpa kata. Sepertinya tau apa yang sedang kurasakan ini.
Ah, setengah jiwaku seolah menghilang. Jauh.
Kau tau bagaimana rasanya kehilangan?
Sakit.
Tapi tak berdarah.
Ingin rasanya berlari. Memeluknya, mencium tangannya yang selama ini telah dengan susah payah mengantarkan aku ke negeri ini. Andaikan aku bisa pulang, ingin sekali saja bisikan sebuah kalimat padanya, “Anakmu pasti mampu melewatinya, Pak.”
Sekali saja, andai Tuhan mengijinkan, aku pasti pulang. Namun, jerat corona dan tanggungjawab ini, tak mampu kutinggalkan. Selamat jalan, Bapak. Tak ada kata yang indah dari sebuah kenangan tentangmu, tentang masa depan dan tentang sepi yang tak berkesudahan.
Andai Tuhan sekali saja mengijinkan. Aku pasti, pulang.
Zhiang Zie Yie
Hongkong, 29 April 2020
Note :
Bobo : Panggilan nenek
Lockdown : Penutupan akses masuk maupun keluar suatu daerah yang terdampak
COMMENTS