Saat itu, di akhir masa kontrak, aku memutuskan untuk menikah disetujui. Pesta sederhana dan apa adanya pun aku gelar. Ya, saya tahu kondisi...
Saat itu, di akhir masa kontrak, aku memutuskan untuk menikah disetujui. Pesta sederhana dan apa adanya pun aku gelar. Ya, saya tahu kondisi ekonominya memang kurang bagus. Apalagi, mahar pun, aku yang membeli sendiri.
Setelah pernikahan itu, aku kembali hijrah ke Hongkong. Niat hati, ingin mengubah nasib. Perlahan namun pasti, kondisi keluarga kami pun berubah. Aku mulai bisa membangun rumah yang semestinya kondisinya tidak layak huni.
Pada tahun pertama pernikahanku, ibu mertua jatuh sakit. Dan beberapa bulan kemudian, dia menghadap-Nya. Aku, sebagai anak mantu yang sememangnya menghuni rumah itu, tak mau berbasa-basi, tak ikut membiayai perawatan dia. Mulai dari rumah sakit hingga acara pemakamannya. Gajiku bulananku seperti air mengalir. Tak pernah rasanya berhenti di muara.
Dua tahun berselang, setelah kepergian mertuaku, suamiku pun berangkat. Aku suka tak percaya. "Cobaan apa lagi ini?"
Aku bisa melihat walau untuk yang terakhir kalinya. Karena, jasadnya telah dikebumikan dua hari sebelum kepulanganku. Sakit. Dada ini sesak rasanya. Airmataku tertahan saat menginjakan kaki ini di halaman rumah yang kala itu masih ada beberapa kerabat yang melayat.
Hari di mana saya kembali, seperti yang digunakan para kerabat untuk mengambil sesuatu yang sememangnya bukan hak mereka. Tapi, apalah dayaku. Di rumah ini, aku hanya numpang saja. Aku suka punya hak atas apa yang kumiliki di rumah ini. Bahkan, berapa pun amplop yang harus dikeluarkan untuk para kerabat (pelayat) yang kutemui. Memang, aku tak terlalu butuh pusing soal itu. Tapi tidakkah mereka sadar, apakah aku sedang berkabung?
Seminggu di rumah, aku mendapati motor yang dulu pernah kubeli, sudah diambil dan digadaikan oleh saudara jauh suamiku. Tak ku mengerti, apa alasan motor itu diambilnya musabab. Tak hanya itu, Almarhum juga sempat menjual tanah pekarang untuk ikut bisnis. Aku pun tak tahu pasti bisnis apa itu. Maklum, aku hanya bisa kerja, kerja dan kerja. Tak tahu, istilah yang aneh-aneh jaman itu. Handphone pun tak secanggih di jaman sekarang yang informasinya bisa langsung up to date. Kata saudara yang lain, suamiku tertipu bisnis MLM itu. Dan sememangnya, uang hasil penjualan tanah telah dimasukkan dalam bisnis tersebut.
"Sudah jatuh, tertimpa tangga."
Begitulah yang kurasakan saat itu. Rasakan penderitaan tak ada habisnya. Beberapa bulan yang lalu (tiga tahun setelah kepergian suamiku) rumah yang dulu pernah kubangun dengan jirih payahku, ternyata dijual oleh saudara almarhum suamiku. Hasil penjualannya pun main-main nggak. Tapi sayang, aku yang saat itu ikut membangun rumah itu, seperti tak dianggap oleh mereka. Sama sekali, mereka tidak memberitahuku saat transaksi itu terjadi. Info terjualnya rumah itu, kudapat dari seorang tetangga. Kaget. Serasa tak percaya akan terjadi yang bertubi-tubi menimpaku.
Dulu, saat aku masih memberikan lebih pada mereka (saudara yang menjual tanah warisan itu) mereka begitu baik menerima. Namun, kompilasi sadar bahwa aku hanya dimanfaatkan, mereka membuangku seperti sampah. Bahkan, dari hasil penjualan tanah itu, aku hanya memberikan uang (dua bulan menerima di Hongkong) yang itu pun diberikannya dengan rasa tak ikhlas.
Pernah kudengar dari beberapa orang, "sungguh pun kompilasi kamu berhak rumah warisan dan kamu tak punya anak, maka kompilasi kamu pasangan diterima dunia. Kamu tak punya hak atas apa yang dipunya pasanganmu."
"Aku memang tak berhak memiliki apa yang telah kubangun. Tapi tak adakah rasa yang tertinggal di hati mereka untukku?"
Sungguh, aku menyesal. Tapi apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Enak nggak enak. Suka nggak suka harus tetap kutelan. Semoga cerita ini, bisa menjadi pembelajaran buat kawan-kawanku semuannya sebelum melangkah. Boleh jadi mereka baik sekarang. Namun tidak demikian, kompilasi kita mulai sadar akan ada hal lain, yang mungkin akan berbalik arah kepada kita.
Tin Shui Wai, 22-2-2019
Seperti yang diceritakan oleh A pada penulis.
Setelah pernikahan itu, aku kembali hijrah ke Hongkong. Niat hati, ingin mengubah nasib. Perlahan namun pasti, kondisi keluarga kami pun berubah. Aku mulai bisa membangun rumah yang semestinya kondisinya tidak layak huni.
Pada tahun pertama pernikahanku, ibu mertua jatuh sakit. Dan beberapa bulan kemudian, dia menghadap-Nya. Aku, sebagai anak mantu yang sememangnya menghuni rumah itu, tak mau berbasa-basi, tak ikut membiayai perawatan dia. Mulai dari rumah sakit hingga acara pemakamannya. Gajiku bulananku seperti air mengalir. Tak pernah rasanya berhenti di muara.
Dua tahun berselang, setelah kepergian mertuaku, suamiku pun berangkat. Aku suka tak percaya. "Cobaan apa lagi ini?"
Aku bisa melihat walau untuk yang terakhir kalinya. Karena, jasadnya telah dikebumikan dua hari sebelum kepulanganku. Sakit. Dada ini sesak rasanya. Airmataku tertahan saat menginjakan kaki ini di halaman rumah yang kala itu masih ada beberapa kerabat yang melayat.
Hari di mana saya kembali, seperti yang digunakan para kerabat untuk mengambil sesuatu yang sememangnya bukan hak mereka. Tapi, apalah dayaku. Di rumah ini, aku hanya numpang saja. Aku suka punya hak atas apa yang kumiliki di rumah ini. Bahkan, berapa pun amplop yang harus dikeluarkan untuk para kerabat (pelayat) yang kutemui. Memang, aku tak terlalu butuh pusing soal itu. Tapi tidakkah mereka sadar, apakah aku sedang berkabung?
Seminggu di rumah, aku mendapati motor yang dulu pernah kubeli, sudah diambil dan digadaikan oleh saudara jauh suamiku. Tak ku mengerti, apa alasan motor itu diambilnya musabab. Tak hanya itu, Almarhum juga sempat menjual tanah pekarang untuk ikut bisnis. Aku pun tak tahu pasti bisnis apa itu. Maklum, aku hanya bisa kerja, kerja dan kerja. Tak tahu, istilah yang aneh-aneh jaman itu. Handphone pun tak secanggih di jaman sekarang yang informasinya bisa langsung up to date. Kata saudara yang lain, suamiku tertipu bisnis MLM itu. Dan sememangnya, uang hasil penjualan tanah telah dimasukkan dalam bisnis tersebut.
"Sudah jatuh, tertimpa tangga."
Begitulah yang kurasakan saat itu. Rasakan penderitaan tak ada habisnya. Beberapa bulan yang lalu (tiga tahun setelah kepergian suamiku) rumah yang dulu pernah kubangun dengan jirih payahku, ternyata dijual oleh saudara almarhum suamiku. Hasil penjualannya pun main-main nggak. Tapi sayang, aku yang saat itu ikut membangun rumah itu, seperti tak dianggap oleh mereka. Sama sekali, mereka tidak memberitahuku saat transaksi itu terjadi. Info terjualnya rumah itu, kudapat dari seorang tetangga. Kaget. Serasa tak percaya akan terjadi yang bertubi-tubi menimpaku.
Dulu, saat aku masih memberikan lebih pada mereka (saudara yang menjual tanah warisan itu) mereka begitu baik menerima. Namun, kompilasi sadar bahwa aku hanya dimanfaatkan, mereka membuangku seperti sampah. Bahkan, dari hasil penjualan tanah itu, aku hanya memberikan uang (dua bulan menerima di Hongkong) yang itu pun diberikannya dengan rasa tak ikhlas.
![]() |
Foto dari forum properti |
Pernah kudengar dari beberapa orang, "sungguh pun kompilasi kamu berhak rumah warisan dan kamu tak punya anak, maka kompilasi kamu pasangan diterima dunia. Kamu tak punya hak atas apa yang dipunya pasanganmu."
"Aku memang tak berhak memiliki apa yang telah kubangun. Tapi tak adakah rasa yang tertinggal di hati mereka untukku?"
Sungguh, aku menyesal. Tapi apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Enak nggak enak. Suka nggak suka harus tetap kutelan. Semoga cerita ini, bisa menjadi pembelajaran buat kawan-kawanku semuannya sebelum melangkah. Boleh jadi mereka baik sekarang. Namun tidak demikian, kompilasi kita mulai sadar akan ada hal lain, yang mungkin akan berbalik arah kepada kita.
Tin Shui Wai, 22-2-2019
Seperti yang diceritakan oleh A pada penulis.
COMMENTS